Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang masih menganggap negative dan merugikan tentang konflik sehingga mereka cenderung menghindari setiap gejala konflik muncul. Yang ada dalam benak masyarakat kita setiap kali mendengar kata konflik adalah identik dengan kekerasan, pengrusakan dan segala bentuk perbuatan yang dianggap merugikan.
Konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari disini ada beberapa pendekatan dalam menangani konflik dari Timothy D. Sisk. Paling tidak ada empat pendekatan utama yang bisa ditempuh dalam menangani konflik (Sisk:2002:110-111):
Pencegahan konflik. Sebuah sistem demokrasi lokal yang sehat, di mana semua kelompok masyarakat merasa memiliki wakil serta dapat memberi pengaruh dalam institusi masyarakat maupun pengambilan kebijakan pemerintahan, bisa membantu mencegah timbulnya rasa keterasingan maupun frustrasi. Hal ini ini juga membantu mencegah terjadinya konflik dengan cara memberikan saluran yang tepat bagi setiap keluhan warga, di samping menciptakan peluangpeluang untuk menggalang langkah pemecahaan masalah yang bersifat kolaboratif (bukannya yang bertentangan). Sistem pemerintahan lokal yang dikonsep dan dilaksanakan dengan baik – misalnya, jika pejabat atau penguasa terpilih dapat menjalin hubungan erat dengan organisasi-organisasi berbasis massa – juga menciptakan sebuah sistem pengawasan dan peringatan dini yang andal manakala terjadi letupan atau eskalasi konflik bernuansa kelompok identitas di daerah perkotaan.
Manajemen konflik. Sebagai sebuah sistem tawar-menawar dan bernegosiasi, demokrasi dapat membantu mengatasi konflik antar kelompok dan menggiring mereka ke dalam dialog dan debat politik, dan menjauhkan mereka dari kekerasan di jalan. Tujuan manajemen konflik adalah menjaga supaya perselisihan yang ada bisa disalurkan ke dalam arena negosiasi dan mencegahnya jangan sampai mengalami peningkatan yang berujung pada konfrontasi dan kekerasan.
Penyelesaian konflik. Resolusi adalah proses mendiskusikan sebuah atau serangkaian isu, mencapai kesepakatan, dan melaksanakannya, kemudian menghilangkan akar penyebab konflik sebisa mungkin. Banyak perselisihan bernuansa kemajemukan masyarakat misalnya masalah kebijakan pemakaian bahasa pengantar pendidikan di sekolah dapat diselesaikan dengan menyepakati seperangkat peraturan yang menjadi panduan dalam pengambilan keputusan. Contoh paling mutakhir adalah diperkenalkannya sekolah berbahasa Albania di wilayah Montenegro sebagai cara memadamkan ketegangan antar kelompok. Sejauh perangkat peraturan itu dipandang adil oleh segenap lapisan masyarakat dan tidak ada kelompok mayoritas yang menentang atau berniat mengganti peraturan itu, konflik yang ada bisa dikatakan berhasil diselesaikan.
Transformasi konflik. Beberapa konflik yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, seperti yang dipaparkan pada studi kasus mengenai Jerusalem, Belfast, dan Johannesburg, nyaris mustahil diselesaikan atau diatasi. Demikian pula upaya-upaya yang hanya mengatasi problem utama antar kelompok dominan di dalam masyarakat perkotaan tidak akan membantu mengatasi akar utama konflik yang ada. Untuk kasus-kasus seperti ini yang diperlukan adalah pendekatan yang berlapis-lapis, sambil menjalin kerjasama dengan para pemuka politik dan ornop baik yang di tingkat nasional maupun regional, serta langsung berbaur dengan kelompok akar rumput secara serentak. Tujuan pendekatan transformasi konflik adalah mengubah kesenjangan struktural masyarakat yang mendasari dasar atau penyebab utama konflik, misalnya akses memperoleh pelayanan kesehatan yang menyulut konflik antar kelompok identitas.
Malang, 15 Agustus 2011
0 komentar on Beberapa Pendekatan dalam Menangani Konflik :
Posting Komentar