Dalam pentas pemilihan kepala daerah setiap calon berusaha melipatgandakan kemampuan mereka dalam memenangkan pertarungan yang mereka hadapi. Dalam usaha memenangkan pertarungan ini mereka akan memaksimalkan sumber daya yang mereka miliki termasuk menentukan aktor-aktor yang akan memainkan peran-peran tertentu dalam pentas politik pemilihan kepala daerah. Aktor-aktor yang menjalankan peran dan fungsi politik dalam pentas yang memperebutkan kekuasaan ini bisa berasal dari manapun, tidak terkecuali oleh mereka yang berada pada lembaga pemerintah. Karena inti dari politik adalah kekuasaan maka sudah barang jadi kalau penggunaan cara apapun dalam memenangkan pertarungan pemilihan kepala daerah akan penuh dengan intrik.
Ketika seorang aktor berhasil memenangkan kompetisi pertarungan dalam proses pemilihan kepala daerah maka hal pertama yang dilakukan pasca kemenangan adalah pembentukan rezim dibawah pemerintah berkuasa. Pembentukan rezim ini tentu dilakukan dengan merekrut orang-orang birokrat untuk diposisikan pada bagian tertentu dalam rezim yang akan dibentuk. Pembentukan rezim ini tentu mengharuskan untuk merekrut orang-orang yang menjadi kawan dalam proses perebutan kekuasaan. Penempatan yang direkrut berdasarkan kesepahaman dalam perjuangan maupun dalam mendukung calon yang sama tentu mereka akan menggeser posisi pendahulu mereka yang dukungannya kalah dalam proses pertarungan.
Karena dalam proses perekrutan dalam mengisi jabatan dalam birokrasi yang menggunakan mekanisme kedekatan dan bantuan politik dalam proses perebutan kekuasaan, maka dalam proses pemilihan akan mempengaruhi kinerja birokrasi karena orang dalam birokrasi hanya berusaha bagaimana mempertahankan posisi jabatan mereka. Dan untuk mempertahankan jabatan ini maka tentunya mereka dalam memberikan dukungan adalah kepada calon yang memiliki kekuatan dan kemungkinan untuk memenangkan proses pertarungan. Tapi ketika dalam proses pemilihan diantara para calon memiliki kekuatan yang hampir imbang, tentunya birokrasi dengan orientasi mereka mempertahankan posisi jabatannya dengan memberikan dukungan kepada calon kuat akan menjadi galau. Mereka akan mendukung dengan desakan keraguan dalam diri mereka atas kemungkinan lolosnya calon dukungan mereka. Dalam posisi galau seperti ini seringkali para birokrat ini cenderung munafik dan menampakan wajah kembarnya dengan berusaha mendukung dua calon.
Posisi pegawai negeri dalam proses pemilihan kepala daerah seolah sebuah bencana dan akan benar-benar menjadi bencana ketika mereka diharuskan untuk mendukung calon incumbent yang dalam kalkulasi politik peluang untuk memenangkan pertarungan sangat kecil. Sementara pada sisi lain posisi incumbet berhak untuk memaksa dan mempolitisasi birokrasi agar menjatuhkan dukungan dan pilihan mereka pada calon incumbent. Sebagai atasan tentu posisi incumbent dengan senjata jabatan dan mutasi tentu akan sangat efektif untuk menekan posisi birokrat untuk tunduk pada keinginannya. Selain itu doktrin untuk selalu taat dan tunduk pada perintah atasan tentu menjadi alat yang ampuh bagi posisi incumbent untuk memberikan tekanan-tekanan pada birokrasi.
Ketika ketaatan dan ketundukan pada pimpinan menjadi senjata dalam mempolitiisir birokrasi pada sebuah pemilihan, maka tidak ada pilihan lain bagi birokrat untuk melibatkan diri membantu dan menyukseskan calon incumbent agar menduduki kembali kursi kekuasaan yang kedua kali. Ketidak siapan birokrat dalam mendukung calon incumbent maka pilihan hanya satu non job buat mereka. Pada titik ini birokrasi benar-benar menjadi galau, antara mempertahankan netralitas mereka dalam birokrasi dengan mempertahankan posisi dan jabatan yang mereka sebagai elit dalam pemerintahan.
Malang, 18 Mei 2012
0 komentar on Pemilihan Kepala Daerah dan Lahirnya Birokrasi Galau :
Posting Komentar