Netralitas Semu Birokrasi Dalam Proses Pemilihan Kepala Daerah.


Setiap perayaan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, tentunya para calon pemeran serta dalam proses perebutan jubah ritual kekuasaan akan selalu meningkatkan sumber daya yang mereka miliki dalam upaya memenangkan pemilihan kepala daerah. Dalam usaha meningkatkan kekuatan itu, selain mengefektifkan kinerja mesin partai, tentu para pemeran serta dalam pemilihan kepala daerah akan melirik birokrasi sebagai salah satu mesin yang akan digunakan dalam proses pemenangan pertarungan kursi kekuasaan. Hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, mengingat birokrasi memiliki kinerja organisasi yang hampir mirip dengan sistem kerja partai. Sehingga tidak berlebihan ketika Weber mengungkapkan bahwa birokrasi adalah sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang menguasainya. Pendapat Weber ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Marx bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya.

Merujuk pada pandangan Weber dan Marx diatas, maka lalu birokrasi itu sendiri kemudian akan dijadikan sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang menguasainya. Alasan menjadikan birokrasi sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang menguasainya tentu menjadi alasan yang logis. Dimana selama ini dalam sistem pemerintahan, yang paling dekat dengan masyarakat sebagai pemilih (voter) adalah birokrasi.  Kedekatan birokrasi dengan publik ini diamini oleh Etzioni bahwa selama ini yang bersentuhan langsung dengan masyarakat banyak adalah birokrasi. Dan kerja-kerja birokrasi selama ini adalah diperuntukan buat publik sehingga birokrasilah yang paling dekat dengan masyarakat pemilih sekaligus memenangkan hati para pemilih. Sejalan dengan Etzioni, Hegel mengungkapkan bahwa birokrasi sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Kedekatan ini kemudian membuat birokrat memiliki akses yang bagus kepada masyarakat pemilih, kedekatan-kedekatan ini yang kemudian  dimanfaatkan oleh para calon dalam memperebutkan posisi kepala daerah.

Untuk menghindari masuknya birokrasi dalam sistem politik, maka pemerintah membuat peraturan dimana dalam sistem politik kita menerapkan faktor netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Netralitas birokrasi ini telah diatur dalam surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (SK KPU) No. 35 Tahun 2004. Dalam surat keputusan tersebut melarang bagi setiap pejabat negara untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon yang didasarkan pada pengaduan yang signifikan dan didukung bukti selama masa kampanye. Aturan tentang netralitas birokrasi ini kemudian ditegaskan juga dalam UU No, 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang kemudian ditindak lanjuti dengan ancaman pemberian sanksi bagi para pegawai yang yang terlibat dalam kampanye sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran MENPAN No. SE/04/M.PAN/03/2004. Adanya aturan yang melarang birokrasi untuk terlibat dalam politik bersifat mengikat yang harus dipatuhi oleh siapapun. Walaupun aturan-aturan yang mengharuskan sikap nertalitas birokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah tapi peluang dilanggarnya aturan itu sangat besar. Peluang dilanggarnya aturan tersebut tidak bisa ditahan ketika niat dalam pemilihan kepala daerah didominasi oleh kepentingan hanya sekedar mengejar kekuasaan itu sendiri dan bukan didasari oleh adanya niat yang luhur untuk benar-benar melakukan pembangunan yang bisa memajukan masyarakat.

Dalam pendekatan transformasi ekonomi terhadap politikpun  tidak membiarkan proses politik dalam pemilihan berjalan tanpa proses-proses pertukaran sebagaimana metode pertukaran dalam ekonomi. Pelaku-pelaku dalam proses pertukan suara pada pasar politik paling efektif dilakukan oleh birokrasi. Proses pertukaran tersebut menjadi sangat efektif dilakukan oleh birokrasi karena selama ini barang-barang publik sebagai alat transaksi politik dalam mendapatkan suara pemilih disiapkan oleh para birokrat. Dimana barang-barang publik seperti Bangunan sekolah, rumah sakit, jalan, dan lain sebagainya merupakat alat transaksi politik yang cukup efektif dalam membeli suara para pemilih. Artinya dalam pandangan ini uang bukanlah alat transaksi politik sebagaimana dalam proses ekonomi murni. Kemampuan birokrasi dalam menyediakan barang-barang publik yang benar-benar nilai manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat tentu akan membuat masyarakat untuk mendengarkan keinginan birokrat. Mekanisme pertukaran semacam ini adalah hal yang cukup rasional dalam sistem politik, jadi ketika publik menjatuhkan pilihan mereka terhadap calon tertentu adalah pilihan rasional buat masyarakat pemilih.

Selain masalah kedekatan antara birokrat dengan masyarakat pemilih, ketiadaan mekanisme perekrutan jabatan dalam birokrasi membuat para birokrat berusaha untuk memberikan bantuan politiknya kepada calon tertentu dalam memperebutkan jubah ritual kekuasaan. Karena hanya dengan cara seperti ini mereka juga bisa mempertahankan maupun merebut posisi-posisi elit dalam sistem birokrasi. Walaupun para birokrat tidak berusaha untuk merebut posisi elit dalam birokrasi tapi mereka akan tertarik untuk ikut dalam permainan politik karena seringkali posisi dalam birokrat ditentukan oleh hasil bargaining partai pendukung dalam proses pemilihan kepala daerah. Sehingga jabatan elit birokrasi bukan lagi pemberian penguasa melalui prosedur yang bijaksana dengan melihat kemampuan dan kecakapan, tapi jabatan-jabatan tersebut merupakan hasil kompromi politis yang sudah tergadaikan sebelumnya kepada para partai pengusung calon dalam pemilihan. Ketika permainan seperti ini yang terjadi maka birokrat tidak akan nyaman dalam menjalankan rutinitasnya karena mereka diintervensi oleh kekuatan politik yang menempatkan mereka pada posisi elit dalam birokrasi. Model intervensi semacam ini yang kemudian dikhawatirkan oleh Etzioni kalau akan menyebabkan sistem demokrasi tidak berjalan.

Dalam sistem birokrasi saat ini memang lemah dari sisi aturan, walaupun disatu sisi birokrasi dilarang berpolitik namun pada sisi lain untuk mendapatkan jabatan dalam sistem birokrasi tidak terlepas dari bantuan yang diberikan kepada para penguasa yang berhasil menduduki jabatan. Jabatan dalam sistem birokrasi bukan jabatan yang didapatkan karena dipilih sebagaimana jabatan politik yang lain seperti kepala daerah, legislatif dan lain sebagainya. Tapi jabatan dalam birokrasi adalah jabatan yang ditunjuk, sehingga mereka akan ditunjuk dan dipercayakan menduduki posisi tertentu dalam birokrasi ketika ada bantuan mereka kepada penguasa terpilih, baik dukungan materi maupun dukungan dalam politik. Pada titik ini akses birokrasi akan terlibat dalam proses politik praktis karena ketiadaan aturan dan mekanisme dalam perekrutan jabatan dalam sistem birokrasi yang ada saat ini.

Kekuatan politik dalam mempengaruhi mekanisme dalam birokrasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Persoalan campurtangan politik dalam sistem birokrasi bukan hal baru, bahkan sebelumnya sudah terjadi perdebatan tentang hal ini dimana ada argumen yang mengharuskan adanya dikotomi antara politik dan birokrasi. Proses dikotomi ini tidak akan pernah terjadi, mengingat jabatan kekuasaan diperoleh melalui mekanisme politik karena yang menunjuk dan menentukan posisi dalam birokrasi ditentukan oleh sistem politik. Ketika mekanisme politik memiliki kekuasaan untuk menunjuk dan mengangkat posisi dalam birokrasi maka dengan sendirinya sistem birokrasi itu sendiri tunduk pada keinginan politik. Dalam hal ini politik dengan sendirinya masuk dan mengepalai sistem birokrasi.


Malang, 13 Mei 2012

0 komentar on Netralitas Semu Birokrasi Dalam Proses Pemilihan Kepala Daerah. :

Posting Komentar