Review Jurnal Voluntarism dan Pelayanan Sosial di Irlandia


Pada kemerdekaan politik (1922) Negara Irlandia yang baru mewarisi kemerdekaannya dari Negara kolonial (Breen et al, 1990), dan masyarakat sipil relatif miskin karena sebagian besar terfokus pada perjuangan untuk identitas nasional dan kemerdekaan politik. Pada dekade setelah kemerdekaan, laju pembangunan ekonomi dan sosial lambat. Sampai tahun 1960-an jumlah penduduk terus menurun, daerah pedesaan secara sosial dan demografis habis dan daerah perkotaan tumbuh perlahan, hal ini mencerminkan lambatnya pembangunan ekonomi secara umum.

Tahap pertama dari industrialisasi dan pembangunan ekonomi pada 1960-an dan 70-an ditandai dua perkembangan yang mengubah wajah Negara-campuran masyarakat sipil. Pertama, peran negara baik dalam penyediaan dan keuangan kesejahteraan sangat berkembang, yang mengarah ke menyeimbangkan kembali Negara / pengaruh non-profit di bidang kesehatan dan pendidikan pada khususnya. Kedua, sekulerisasi bahwa pembangunan ekonomi untuk membantu dan mempertahankan pertumbuhan generasi baru dari asosiasi sukarela, memberikan ekspresi dengan masalah-masalah yang muncul dalam hak-hak sipil, hak-hak perempuan, cacat, tunawisma, dan seterusnya. Ukuran keseluruhan sektor jasa sukarela sosial tumbuh selama periode ini dan komposisi menjadi lebih diverse. Meskipun tidak mungkin dengan data yang tersedia untuk mendokumentasikan pertumbuhan asosiasi sukarela secara rinci, jelas dari data agregat yang menggabungkan pelayanan sosial sukarela bahwa kehadiran sektor nonprofit telah memberikan perkembangan yang signifikan.

Irlandia, dengan perekonomianya yang maju mulai mengalami krisis fiskal pada akhir tahun 1970. Setelah dilakukan restrukturisasi kebijakan di akhir 1980-an dan awal 1990-an ekonomi tumbuh pada tingkat yang luar biasa meningkatan pesat dalam hal pendapatan pribadi dan akhirnya pencapaian full employment. Dalam restrukturisasi negara kesejahteraan di Britania, Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Sektor jasa sosial sukarela telah dipengaruhi dalam berbagai cara. Perhatian yang lebih besar untuk mengendalikan fiskal telah mengakibatkan pertumbuhan dalam berbagai bidang sosial, sehingga memperluas lingkup potensi usaha amal sukarela . Selain itu, dalam derajat yang bervariasi, Negara-negara beralih ke penyediaan non-negara meskipun sejumlah mekanisme termasuk privatisasi pelayanan kepada pasar, kontrak jasa ke sektor swasta, penyedia komersial, dan kontraktor jasa kepada asosiasi-asosiasi sukarela (Pierson, 1994; Ascoli dan Ranci, 1999). Dalam 'skenario masukan kesejahteraan negara' di sektor jasa sosial sukarela sekarang ditempatkan dalam hubungan kualitatif yang berbeda dengan Negara (dan dengan sektor-sektor kesejahteraan lainnya), dengan penekanan lebih besar pada akuntabilitas keuangan dan manajemen dalam budaya kontrak.

Pada tahun 1997 Departemen Studi Sosial didekati oleh Society of Saint Vincent de Paul (SVP) untuk membantu dalam proses yang bertujuan untuk merumuskan pandangan masyarakat pada berbagai masalah yang relevan dalam kebijakan sosial nasional.  Aspek yang paling penting dari proyek ini dari perspektif SVP Dewan Nasional adalah untuk mendapatkan mandat yang jelas dari keanggotaan akar rumput untuk mengejar peran lebih besar dalam perumusan kebijakan sosial nasional. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan peran kebijakan sosial nasional dengan dukungan dari anggotanya akan memerlukan tindakan penyeimbangan yang sulit. Ini berarti di satu pihak, terlibat dalam kerja kebijakan yang lebih, lobi, advokasi dan sebagainya, sementara di sisi lain tidak meninggalkan komitmennya untuk mengerjakan kasus rahasia dengan masing-masing klien.

Perumusan kebijakan dapat dipandang sebagai kegiatan yang dikemudian hari kelak akan menentukan masa depan suatu kehidupan publik tertentu, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Sehingga formulasi merupakan turunan dari formula yang berarti untuk mengembangkan rencana, metoda resep, dalam hal ini untuk meringankan suatu kebutuhan untuk tindakan dalam suatu masalah. Berangkat dari apa yang telah didefinisikan oleh Jones maka sebagai metoda dan resep sebaiknya dalam proses formulasi kebijakan harus melibatkan pihak lain yang memiliki ketertarikan dan minat dalam proses formulasi tersebut, sehingga informasi yang didapatkan dalam perumusan kebijakan tersebut lebih banyak. Formulasi tidak perlu dibatasi oleh serangkaian pelaksana saja dan dapat saja dua atau lebih kelompok perumus yang menghasilkan usulan saingan atau penambahan-penambahan.

Keterlibatan interest group dalam perumusan kebijakan sosial di satu sisi memberikan manfaat yang lebih besar karena kemungkinan terakomodirnya kepentingan rakyat lebih besar. Karena interest group merupakan kelompok masyarakat akar rumput yang cukup paham dengan kondisi masyarakat sehingga dalam merumuskan kebijakan arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai sebagaimana yang di ungkapkan oleh Dunn bahwa perumusan masalah akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosa pembagian-pembagian masalah publik, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang berseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Namun disisi lain kemungkinan negative yang di timbulkan dengan keterlibatan dari interest group ini adalah adanya kemungkinan dalam pembuatan kebijakannya hanya mengarah kepada kepentingan pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu, mengingat kebanyakan masyarakat acuh terhadap isu kebijakan, sebagaimana dalam teori elit yang menyodorkan sebuah argumen yang kuat tentang hal ini dengan menyatakan bahwa: sebagian besar rakyat merupakan pihak yang apatis dan buta informasi mengenai kebijakan publik. Hal ini bisa kita lihat dari adanya pertentangan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah. Ini merupakan bukti kuat bahwa kebijakan yang dirumuskan tidak berpihak pada rakyat.

Keterlibatan interest group di irlandia oleh sebagian masyarakat masih dianggap tidak kondusif karena adanya perilaku ketidak jujuran dalam anggotanya, dimana sebagian anggotanya hanya dijadikan sebagai pihak partisan saja. Hal ini akan sangat mempengaruhi hasil dari rumusan kebijakan sosialnnya, dimana seharusnya kebijakan tersebut dibuat untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagaimana yang diungkapkan oleh Bessant, Watts, Dalton dan Smith, bahwa Kebijakan Sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya.

Indonesia sebagai negara yang multi entis maka keterlibatan interest group secara sepihak akan sangat berpengaruh pada perumusan sebuah kebijakan. Kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah diuntungkannya pihak tertentu, karena ketika seseorang dari etnis tertentu terlibat maka kemungkinan besar dia hanya memahami persoalan yang terjadi didaerahnya atau komunitasnya saja dan komunitas lain tidak dipahami sama sekali. Hal ini akan menyebabkan terjadinya ketimpangan baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam implementasi kebijakannya. Karena itu dalam perumusan kebijakan sosialnya membutuhkan pengetahuan yang kompleks sehingga kebijakan social yang dihasilkan menyentuh pada target yang di inginkan. Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat, idealnya perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo, bahwa para Pekerja Sosial yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:

Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin). Namun demikian, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), Kebijakan Sosial dipandang bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya Kebijakan Sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi. Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan.

Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang. Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara berkembang. Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi. Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil.

Dalam perumusan Kebijakan Sosial sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor yang memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program.

Para pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan situasi dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana Kompetensi.

Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai model-model analisis Kebijakan Sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik Pekerjaan Sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan. 



Malang, 16 Februari 2012.

0 komentar on Review Jurnal Voluntarism dan Pelayanan Sosial di Irlandia :

Posting Komentar