Melacak Arah Pembangunan Butur



Banyak yang memahami bahwa sukses sebuah pembangunan dilihat dari gedung megah yang dibangun, dilihat dari licinya jalanan dan lain sebagainya yang identik dengan pembangunan fisik sebuah daerah. Kalau dilihat secara dangkal dan hanya melihat pembangunan itu dari segi infrastruktur maka kita semua tentu sepakat bahwa bangsa indonesia telah sukses mencapai puncak tertinggi pembangunan. Tapi apakah benar pembangunan adalah sebuah proses pembangunan sacara fisik saja. Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan bahwa pembangunan itu bukanlah sekedar menonjolkan sesuatu yang sifatnya fisik saja tapi inti dari pembangunan adalah bagaimana meningkatkan modal finansial dan modal sosial masyarakat.

Sebuah pembangunan harusnya membawa dampak sosial dan finansial pada masyarakat, artinya ketika sebuah pembangunan jalan misalnya, adalah paling minimal dalam pembuatan jalan tersebut harus menambah dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Maksudnya bahwa dengan dibangunnya jalan hal tersebut mempermudah arus perekonomian ekonomi masyarakat. Sehingga dengan sendirinya hal tersebut bisa mengangkat derajat sosial masyarakat, yang dulunya miskin kemudian derajatnya mengalami peningkatan dalam kelas sosial masyarakat atau bagaimana pemerintah membuka lapangan kerja yang akan meningkatkan kehidupan masyarakat. Dalam catatan ini saya hanya mencoba menafsir pembangunan yang ada di Buton Utara, apakah pembangunan di Butur, untuk menambah modal sosial dan modal finansial masyarakat atau justeru itu hanya menambah modal sosial dan modal finansial para kontraktor maupun oleh mereka yang masuk pada wilayah siluman kemudian membentuk pemerintahan bayangan yang mencoba meraup keuntungan sepihak dalam pembangunan dengan kekuatan pemerintah bayangan yang mereka bentuk.

Pemandian mata rombia, gambar by Sulawesi Chanel

Pembangunan yang ada di Buton Utara lebih banyak disebabkan oleh pengaruh efek pemerintah bayangan yang memiliki kekuatan untuk menekan lembaga-lembaga pemerintah, LSM, maupun masyarakat sehingga mereka tidak bisa berbuat karena mereka diposisikan sebagai pihak yang ditundukan, hal ini dalam bahasa Agustino menyebut kelompok seperti ini sebagai local strong man. Banyak dari pembangunan-pembangunan ini tidak membawa efek bagi masyarakat, justeru menimbulkan persoalan lain. Ketika perilaku lokal strong man ini makin menggurita maka masyarakat jangan berharap bahwa pembangunan akan berjalan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tapi pembangunan akan mengalami perubahan tujuan yang semula untuk kesejahteraan menjadi sebuah bisnis. 


Kawasan Sawah di morindino yang nasibnya tidak jelas,  
gambar by mukmin syarifuddin
Pembangunan drainase buntu karena tidak ada pembuangan akhir hanya menimbulkan persoalan, munculnya aroma tidak sedap dan ketika musim hujan air menggenang dan ini berdampak pada munculnya penyakit lain. Beberapa waktu yang lalu saya sempat bincang-bincang dengan seorang petani warga bonegunu, mereka menginginkan lahan mereka yang akan dijadikan sebagai sawah dikerjakan sendiri. Namun oleh seorang pengusaha mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin dikerjakan secara manual sehingga proyek tersebut harus di pihak ketigakan. Dalam data sang kontraktor mengatakan bahwa lahan tersebut merupakan lahan berat pada hal versi masyarakat lokal kompleks persawahan tersebut 70%nya adalah lahan ringan. Pada hal masyarakat sangat berharap kalau mereka sendiri yang mengerjakan paket pengerjaan percetakan sawah dilikasi mereka dengan harapan bahwa dana pencetakan sawah tersebut bisa mereka sisipkan sebagai modal usaha mereka. Persoalan lain yang menimbulkan kecemburuan sosial adalah perekrutan tenaga kerja dalam pengerjaan paket-paket proyek yang ada di Buton Utara. Dalam paket pengerjaan proyek banyak diambil tenaga kerja dari luar dan penduduk lokal hanya menjadi penonton yang berujung pada pemiskinan penduduk lokal.

inilah salah satu bukti pembangunan di butur yang memprihatinkan, 
belum lama di bangung sudah hancur, gambar by Mukmin Syarifuddin

Saya melihat ada beberapa hal yang nantinya akan menjadi kesulitan bagi pemerintah butur dalam dalam upaya mengurangi kemiskinan dalam konteks pembangunan. Pertama, munculnya kekuatan kelompok pengusaha yang mencoba mengambil keuntungan yang membuat kelompok lain seperti petani, nelayan, buruh dan lain sebagainya tetap dalam posisi termarginalkan, kedua, ketidak seimbangan laju perkembangan antar sektor ekonomi akibat preferensi strategi pembangunan ekonomi yang tidak akurat. Ketiga, ketimpangan pembangunan antar sektor ekonomi akibat kegagalan implementasi strategi pembangunan. Keempat, asimetri hubungan antar wilayah perkotaan dan pedesaan akibat pemerintah hanya memusatkan kegiatan ekonomi pada wilayah perkotaan.

Pemerintah sebagai unsur negara harusnya mengambil peran dalam kondisi seperti ini, sehingga negara kesannya tidak menjadi sebagai sekedar alat untuk menindas rakyat sebagaimana dalam pandangan Marx. Kalau pemerintah butur ingin serius dalam menyejahterakan warga butur harusnya membuat kebijakan yang melindungi warga butur. Dalam hal tenaga kerja harusnya menetapkan pembagian 80:20, dimana 80% tenaga kerja pengerjaan pekerjaan-pekerjaan  tertentu harusnya diambil dari warga lokal dimana paket proyek tersebut dilaksanakan, sisa dari 80% tersebut kemudian diambil dari luar sehingga terjadi proses transformasi keterampilan. Disamping itu dengan melakukan proses seperti ini tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial. Dengan tampilnya pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat maka dengan sendirinya masyarakat terlindungi dan proses distribusi kekuasaan tersalurkan secara adil. Dengan seperti itu masyarakat merasa bahwa kehadiran pemerintah telah membawa perubahan pada kehidupan mereka.

Malang, 30 Desember 2011

0 komentar on Melacak Arah Pembangunan Butur :

Posting Komentar